kentut George

“Namanya George, Tari. Kamu harus memanggilnya ‘Jors’ bukan ‘Ge-or-ge’.”

“Aku mengerti. TOEFL-ku 660, ingat itu.”

Sepasang alis naik.

“Lanjutkan. Bagaimana dia?”

“George menarik.”

“Hm … Aku tidak percaya. Kamu harus mendeskripsikannya.”

“Hahaha. Sabarlah, Cantik.”

“Berhenti merayuku. Lanjutkan!”

Berdeham.

“Sekali lagi, Goerge menarik. Tidak untukku. Aku lelaki normal. Tetapi untuk wanita sepertimu, yang mudah menjinak setiap kali disodori sebidang dada gagah, punggung tegas, bulu tipis di antara hidung dan bibir, perut enam kotak, otot bergelombang menyaingi tsunami Aceh, tubuh yang ideal, rambut berminyak – bahkan aku bisa menggoreng tempe disana, dan … dan … fisik apa lagi yang makhluk sejenis kamu sukai?”

Senyum menyungging. Merasa terhina. “Kami, terutama aku, tidak melihat lelaki dari tampangnya saja, Reno.” Nada meninggi, seolah mengancam. Hah. Ancaman pembelaan diri. Hahaha.

“Oh, tenang saja. George tidak hanya ganteng secara fisik, tapi juga … hm … bagaimana aku menyebutnya ya? Jiwa? George ganteng secara jiwa.”

Mulai tidak suka. Kebiasaan. Membuat perumpaan yang tidak mudah dijangkau otak monyet. “Apa, sih?!”

“George berhati lembut. Dia adalah calon executive manager di sebuah perusahaan lansekap. Bukankah lelaki yang menyukai bunga dan tanaman hias itu berhati lembut? Kamu sendiri yang bilang seminggu yang lalu.”

“Ya ya ya.”

“George kharismatik. Setiap kali presentasi, ia tidak pernah gugup. Selalu menyungging senyum pasta gigi impornya di depan kepala perusahaan yang cantik. Tentu saja ia cantik, ia wanita. George dipimpin oleh wanita. Dan itu tak pernah membuatnya terdiskriminasi. Ia menghargai emansipasi. George penganut ajaran Kartini, meski ia laki-laki yang laki. Hihihi.”

“Aku tidak menyuruhmu tertawa.”

Diam. Meja di hadapan mereka bergetar. Reno memukulnya setelah ia menyadari satu hal. “Sial, sepertinya aku juga penganut ajaran Kartini. Lihat saja, aku dipimpin olehmu. Bahkan langsung diam waktu kamu suruh diam!”

Tari tersenyum puas. “Selamat datang di zaman dimana kamu tidak bisa mengatasnamakan kelaminmu sendiri. Hahaha. Sudahi parodi ini. Kamu mau melanjutkan si George ini tidak?”

“Oh tentu saja. Deadline-nya besok pagi, kan?”

“Tapi aku bisa menyingkatnya kalau cerita ini selesai sebelum petang.”

“Tidak perlu menunggu petang. Aku akan selesaikan sekarang.”

What are you waiting for?

Reno mendelik. Tari betul-betul wanita yang selalu meningatkannya bahwa nilai TOEFL-nya 660.

“Yang menarik dari George adalah dia selalu berusaha habis-habisan untuk tampil kharismatik. Ia menahan marah, ketika bos wanitanya berkata sampah untuk desain taman vertikal-nya yang ia buat semalam suntuk. Atau tidak membela diri saat seluruh tender menyalahi dirinya atas kesalahan yang tidak ia perbuat, bahkan dengat bukti kuat. Bukannya mendapat belas kasihan dari bos, keputusan perusahaan menaikkan pangkatnya terasa sengaja ditunda-tunda.”

“Lalu?”

Mendesah. “Lalu? Oh Tari. Kenapa dari tadi kamu hanya berkata lalu, lanjutkan, dan menyuruhku jangan berlama-lama menyelesaikan George?”

Tanpa persiapan napas, Tari merangsak. “Apa lagi yang harus kukatakan? Sudah tugasku menyadarkanmu kalau ribuan pembaca menunggu cerpenmu. Hampir tiga bulan ini kamu hanya mendekam di Bali. Tidak menghasilkan apapun. Menjadi manusia paleolotik di Uluwatu. Tidak menjawab telepon dan membalas pesan dariku. Membuatku seperti George, ingin marah tapi tak mungkin. Setengah jam makan siang kuhabiskan untuk mendengar George yang tidak jelas mau kamu bawa kemana?”

Panas membuat Tari lupa caranya bernapas.

Reno menawarkan secangkir teh manis dingin yang belum ia minum. “Inilah alasanku pergi ke Bali.”

“Bukan pergi. Kamu kabur, Reno!”

“Terserah kamu mau bilang apa, Tari. Aku Reno, bukan George. Aku tidak bisa sok kharismatik untuk menyelamatkan diriku. Sebelum aku melanjutkan, kamu harus tahu tentang George. Ia berlagak sok kharismatik supaya pemilik perusahaan tidak mengulur waktu menaikkan pangkatnya, menghapus kata calon sebelum kata executive manager, dan berusaha paling sabar untuk merasakan indahnya digaji 15 juta per bulan. Dan inilah alasanku pergi, oh, kabur ke Bali : AKU BUKAN GEORGE. Aku tidak bisa tinggal diam ketika ada sesuatu yang salah dalam diriku, kehidupanku, dalam kamu.”

“Aku? Kenapa kamu harus bawa-bawa aku, menjadikanku alasan kepergianmu yang tanpa pamit?”

“Karena kamu tidak menyadari ada yang salah dalam dirimu, Tari. Aku kehilanganmu.”

“Cukup! Kamu selesaikan George atau aku pergi?”

“Aku kehilanganmu.”

“Kamu selesaikan ceritamu atau aku pergi?!”

“Aku tidak memilih keduanya. Aku memilih meluruskan kesalahan ini.”

“Aku pergi.”

“Aku kehilangan seorang pembaca pertama. Aku kehilanganmu, Tari.”

“…”

“Kamu yang bilang, seorang penulis membutuhkan editor bukan untuk membetulkan penuliskan naskah yang salah, atau membenarkan typo yang tidak sengaja penulis tulis, atau bukan untuk memiliki alarm hidup yang meningatkan deadline-nya, melainkan untuk menjadi pembaca pertama. Dan yang kamu lakukan selama ini tidak berada di opsi terakhir. Kalau kamu mau ingat, ini terjadi sejak majalah kita mulai dilirik setengah penduduk Jakarta.”

“…”

“Kenapa diam? Mulai menyadari ada besi karat di antara baja yang selama ini kamu buat? Napsu itu memang begitu, Tari. Membuat kita tidak sadar ada minus di antara plus-plus yang tergesa kita dapatkan.”

“Aku pergi. Taruh naskahmu di mejaku.”

Seminggu kemudian di rubrik Cerpen.
Kentut  George
Karya: Reno. Akhirnya dia kembali. Benar-benar kembali!

Namanya George. Kalian harus memanggilnya ‘Jors’ bukan ‘Ge-or-ge’. George menarik. Tidak untuk lelaki normal. Tetapi untuk wanita dan lelaki tidak normal, yang mudah menjinak setiap disodori sebidang dada gagah, punggung tegas, bulu tipis di antara hidung dan bibir, perut enam kotak, otot bergelombang menyaingi tsunami Aceh, tubuh yang ideal, rambut berminyak – bahkan kalian bisa menggoreng tempe disana.

George berhati lembut. Dia adalah calon executive manager di sebuah perusahaan lansekap. Bukankah lelaki yang menyukai bunga dan tanaman hias itu berhati lembut? George juga kharismatik. Setiap kali presentasi, ia tidak pernah gugup. Selalu menyungging senyum pasta gigi impornya di depan kepala perusahaan yang cantik. Tentu saja ia cantik, ia wanita. George dipimpin oleh wanita. Dan itu tak pernah membuatnya terdiskriminasi. Ia menghargai emansipasi. George penganut ajaran Kartini, meski ia laki-laki yang laki. Hihihi.

Yang menarik dari George adalah dia selalu berusaha habis-habisan untuk tampil kharismatik. Ia menahan marah, ketika bos wanitanya berkata sampah untuk desain taman vertikal-nya yang ia buat semalam suntuk. Atau tidak membela diri saat seluruh tender menyalahi dirinya atas kesalahan yang tidak ia perbuat, bahkan dengat bukti kuat. Bukannya mendapat belas kasihan dari bos, keputusan perusahaan menaikkan pangkatnya terasa sengaja ditunda-tunda.

Malaikat? Itulah George. Tapi, kalian harus tahu tentang George. Ia berlagak sok kharismatik supaya pemilik perusahaan tidak mengulur waktu menaikkan pangkatnya, menghapus kata calon sebelum kata executive manager, dan berusaha paling sabar untuk merasakan indahnya digaji 15 juta per bulan.

Lima bulan perngorbanannya berbuah durian montong. Durian yang berisi, manis, dipuji-puji meski berduri. Selembar surat berhasil mengubah ruang kerjanya. Dari sebuah kubikel 2x1 meter, menjadi ruang pribadi 4x6 meter dengan sebuah pajangan kaca berlukis namanya dan jabatan Executive Manager di atas meja marmer.

Malam sebelum hari besarnya, George menyiapkan apa saja yang akan membuat besok adalah hari paling sempurna. Kemeja tiga juta yang ia beli sewaktu tugas di Paris, ia setrika sendiri. George tidak membiarkan satu debu pun menempel di sepatu hitam mengilatnya. Ia membeli wax baru yang lebih wangi dan akan membuat rambutnya berkilau disentuh cahaya kamera, dan tentunya semakin berminyak – kini kalian bisa menggoreng ayam di rambutnya.

Lampu aula kantor menyinari tubuh dewa George di atas podium. Sebagai pembuka, ia berterima kasih kepada bos wanitanya, para tender yang akhirnya memaafkan kesalahannya, dan teman-temannya yang selalu membantunya.

Itukah George? Itu bukan George. George adalah lelaki yang mengatakan, “Harusnya si bos mengakui kehebatan saya sejak awal. Siapa yang menjadikan perusahaan kita dilirik Agung Padamara Group dan dedengkotnya? Saya. Saya, bos payah! Dan kalian para tender, mata kalian dekat otak atau dekat dengkul? Hahaha. Lalu, teman? Makhluk apa itu? Haruskah saya berterima kasih kepada kalian? Di ruangan kita, yang penuh dengan kubikel berantakan, hanya aku sarjana dari universitas top five di Indonesia.”

George adalah lelaki yang mengatakan itu semua, tapi dalam hati. Mana mungkin George merusak hari sempurnanya sendiri? Itukah George? Itulah George.

“Saya merasa pantas …”

George berhenti. Sesuatu di dalam perutnya memaksa George tidak melanjutkan kalimat kebanggannya. Kalimat membanggakan diri sendiri. Bos wanitanya menurunkan kacamata minusnya, merasa ada yang salah dengan penglihatannya. Adalah salah jika George melupakan pidatonya.

“ … mendapatkan …”

Apa yang George makan pagi tadi?
Perutnya bergejolak. Dedenum-nya seperti memelintir. Ada yang menekan-nekan enam kotak di perut George. Ia melihat para undangan sedang menunggu kalimatnya. Mukanya panas. Memerah. Malu. Perutnya ikutan memanas.

George tahu, ia mau kentut.

George mengontrol diri sebisa mungkin. Ia tidak mau dan tidak boleh kentut di atas podium. Mau ditaruh dimana mukanya? Seorang executive manager kentut di hari pengangkatannya? Mati saja!

“Maaf … maksud saya, saya merasa pantas mendapatkan jabatan ini …”
George menekan lubang kentut di antara pantatnya. Rasanya sakit sekali. Ingin rasanya ia jongkok dan kentut di balik meja pidato. Jorok? Tentu saja tidak. Ini naluri. Setinggi apapun jabatan seseorang, mereka pasti pernah menahan kentut. Dan George tidak mau kentut di depan orang-orang penting yang menunggu pidatonya. Ia menghargai mereka.

Menghargai? Hahaha bukan. George tidak mau merendahkan dirinya. Kentut di depan umum, itu hal yang dilakukan orang rendahan! Dia tidak mau melakukannya. Tidak. Meski itu bukan dosa besar. George tidak mau kentut. Harga dirinya lebih besar! George merasa pantas bergelar tinggi, namun tidak pantas kentut.

Seketika George ingat semua pengorbanannya supaya memiliki gelar di kantor. Semuanya berat dan sulit. Tapi, mengapa tiba-tiba menahan kentut adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan oleh seorang George? Ia memohon kepada Tuhan. Baru kali itu George membersitkan kata Tuhan di otaknya. Bagi George, Tuhan harus dihadirkan di saat sulit-sulit seperti itu.

Hei, Geroge, mungkinkah kentut ini karma dari Tuhan?

“Saya merasa pantas mendapatkan jabatan ini …”

Duuuuuuuut.

Mati ya mati saja lah.

“ … kerja keras saya harus dicontoh, bla bla bla bla.”

Pidatonya selesai. Semua undangan berdiri. George mendapatkan tepuk tangan meriah. Tepuk tangan untuk pidatonya dan kerja kerasnya. Kerja keras sehingga berhasil mendapat gelar tinggi, dan kerja keras untuk menahan kentut yang tidak berhasil.

George mendapat karangan buka sebesar pintu ruangan pribadinya. Malu-malu ia bertanya kepada salah seorang tender yang mampir ke ruangannya, memberikan ucapan selamat secara pribadi. “Apakah Anda mendengar suara aneh ketika saya pidato tadi?”

“Iya.”

George menahan malu. Mati saja lah. Mati. Mati.

“Aku mendengar suaramu yang serak dan terbata-bata ketika berpidato. Kenapa? Kamu lupa minum dulu? Selebihnya, pidatomu sempurna. Selamat George!”

Seminggu kemudian di kubikel Reno.

"Seminggu ini aku kebanjiran email tentangmu. Kenapa kamu tidak memberitahu email-mu saja Reno? Setidaknya aku tidak harus iri membaca puji-pujian untukmu.”

“Hahaha, itu nasibmu, Tari. Apa kata mereka?”

“Kebanyakan mengucapakan senang karena Reno, si penulis pujaan ibu-ibu muda, kembali ke Jakarta. Sebagian meminta kamu menulis ceritamu ketika di Bali, jangan menulis cerita yang ringan-ringan saja, apalagi tentang kentut. Jorok, tahu.”

“Menurutmu ceritaku itu ringan tidak?”

“Bukan yang kemarin saja, melainkan cerita yang sudah-sudah. Semua ceritamu sebenarnya berat. Ini tidak hanya perkara kentut atau tidak kentut. Tidak semudah itu menyimpulkan ceritamu. Aku tahu ada pesan antara kentut, Tuhan, dan George yang kamu sembunyikan. Kamu membiarkan pembaca menafsirkannya sendiri-sendiri.”

“Aku senang karena aku tidak lagi kehilangan pembaca sepertimu.”

“Jangan merayu, Reno.”

“Menurutmu, apa yang kusembunyikan?”

“Hahaha, rahasia, dong. Tapi yang penting, sangat menyindir keimanan pembaca, termasuk aku. Itu ciri khas Reno.”

“Pemikiranmu menarik.”

“Tapi, aku kurang setuju kalau kamu menamakan tokohmu ini dengan George. George tukang kentut?”

“Hei, siapa yang menulis kalau dia tukang kentut? Aku hanya memposisikan dia sebagai makhluk biasa, makhluk yang butuh kentut, seperti ia butuh oksigen.”

“Kenapa konflik pribadi yang kamu buat harus kentut? Kenapa tidak lebih besar lagi? Misalnya perceraian. Orang sesempurna George biasanya memiliki masalah percintaan, atau kehidupan yang lebih berat lagi, bangkrut, atau apapun lah. Kenapa harus kentut, Reno? Kalau pun kamu mengangkat kentut sebagai kurir pesan ceritamu, kenapa harus George yang sempurna? Kenapa bukan Sugiman? Tukirmin? Atau nama kampungan lainnya?”

Senyum sepuluh senti tersungging di bibir Reno.

“Sehebat apapun pemikiranmu, apalagi tentang keimanan, kamu selalu memposisikan dirimu sebagai editor dan sebagai pembaca polos. Aku tak menyalahkanmu. Toh akhirnya, aku tidak bisa mengontrol pikiranmu.”

Just to the point, please. You must write a short story for next edition.”

“Hahaha. Baik nyonya Tari. Sebenarnya, dengan cerpen Kentut George ini, aku ingin mengajak penulis Indonesia agar tidak mendiskriminasikan tokoh yang ia buat. Jangan melulu watak yang sempurna harus diperankan oleh orang bernama malaikat. Tokoh kampungan, jelek, dan miskin, tidak ada salahnya memiliki nama Johnson, Abielta, atau Reno sekalipun. Hahaha. Tidak melulu Cecep, Sondari, atau seperti katamu, Tukirmin. We haven’t a rule about the name, right?

“Reno gila. Itu kan fiksi.”

“Itulah kita, selalu menanggap fiksi hanyalah semuah imajinasi. Menganggap remeh hal yang biasa terjadi. Kamu harus sadar, penulis bisa mengubah pandangan pembaca, itulah kekuatan mereka. Dan mengubah pandangan pembaca menjadi berpikir positif, itu tugas mereka. Langkah awalku ya Kentut George ini.”

“Dan satu lagi, andai saja George lebih bisa mengontrol emosinya, ia pasti paham kalau kentutnya tidak akan terdengar oleh siapapun. Tidak ada mirkofon yang sengaja disimpan di dekat pantatnya, kan? Apa yang harus George takutkan? Kalau bau, hahaha, aula sebuah perusahaan ternama di Jakarta tidak sesempit otak George. Tidak ada yang mencium bau kentutnya selain hidung bangirnya sendiri. Mengerti maksudku, Tari?”

“Aku sepenuhnya mengerti. Ini tentang ukuran dan pandangan, kan?”

“Yup!”

“Jadi ini …”

“Jadi itu.”