di stasiun aku

Saya bukan Roker (rombongan kereta), apalagi Anker (anak kereta), meskipun rumah saya hanya 20 menit lamanya dari stasiun. Alasannya mudah, "Saya takut naik kereta. Bahkan kalau sendirian."

Banyak yang bilang, "Rumah elo kan dekat stasiun, naik kereta kan ngirit ongkos. Kalo gini, elo harus naik angkot, kena macet, kudu bayar ojek pula." Saking banyaknya, saya bosan sendiri.

Mobil ayah, yang saya tumpangi, pernah hampir menabrak kereta. Sekian sentimeter lagi, bagian belakang mobil, tempat adik kedua tidur dengan malasnya, dicium wajah kereta yang garang dan siap menerkam. Waktu itu, di perlintasan kereta sangat macet, mobil kami yang terlanjur melewati plang pembatas memakan setengah jalur kereta. Kalau sedikit saja mobil ayah mundur, mundur juga usia hidup kami di dunia. Bahkan selesai. Itu yang pertama.

Kedua, saya paling sulit mengenali nama stasiun. Untuk menghindari saya salah turun di stasiun yang tidak seharusnya saya turun, ya saya tidak naik kereta.

Namun saya bukan anti-kereta juga. Bagaimanapun, saya membutuhkan kereta. Apalagi kalau mau ke kota dalam waktu sebentar. Saya biasanya mengantar Mama berbelanja kain dan bahan flanel ke Tanah Abang menggunakan kereta. Pernah juga, kami berdua mengunjungi rumah nenek dengan kereta. Kalau dihitung-hitung, tiga perempat sejarah saya menggunakan kereta itu ya bersama Mama.

"Berapa stasiun lagi?" tanya saya suatu waktu bosan memandangi sawah, jalan, dan gedung yang berlarian di jendela kereta.

Saran Mama, "Kalau nggak hafal nama stasiunnya, kamu harus hafal jumlah stasiun yang kamu lewati agar sampai ke tujuan."

"Dua. Ayo siap-siap."

Kami segera mendekati pintu keerta yang tidak tertutup. Saya diajarkan Mama untuk segera menuju pintu kereta, supaya turunnya tidak berdesak-desakan dengan orang lain yang mau keluar, juga yang mau masuk. Satu lagi, harus taktis! Kalau tiba-tiba ada yang mengambil jalanmu, cari jalan lain. Harus ekstra keras supaya tidak terbawa kereta ke stasiun berikutnya.

stasiun menunggu

pintu menjadi kursi pelarian

Melakukan perjalanan dengan kereta, bersama Mama, seperti sekolah kehidupan.

Jika kami pulang terlampau sore, Mama mengajak aku menunggu kereta yang cukup kosong untuk dinaiki. Jam-jam pulang kantor, kereta seperti karung beras. Kadang ada sepuluh dua puluh butir beras yang tidak kebagian karung. Penuh. Sesak. Panas.

Untuk menghindari menjadi beras yang tidak terkarungi, kami menunggu. Senja menggantung di sebuah sudut stasiun yang tidak terpagar. Merahnya merekah. Namun berat. Juga biru kehitaman di bagian yang lain. Malam mendekat, namun kereta cukup kosong yang kami rindukan, belum juga datang.

Aku tidak pernah kesal menunggu. Selalu ada yang bisa dilakukan ketika menunggu. Bukan merutuki kepala stasiun, tentunya. Mama mengecek kembali kain flanel yang kami borong dari pasar. Mama punya usaha membuat tempat pensil dari kain flanel. Makin dewasa usia bisnisnya, makin tertarik orang-orang memesan. Bahkan mulai ada yang memesan celemek, sarung bantal tamu, tutup kulkas, taplak meja, hiasan tirai, dan tas. Makin banyak pesanan, makin besar plastik berisi kain flanel yang kami bawa ke Bogor.

Lalu aku? Aku memotret saja. Iseng. Menggunakan kamera ponsel 2 megapiksel. Aku percaya, dengan memotret, aku benar-benar 'melihat', juga 'memandang'.

langit-langit Stasiun Depok Baru



rel men is not the real men


pejuang kesehatan stasiun
di tujuan aku bernapas lega
tertinggal
persinggahan

Lalu dering lonceng kereta seperti suara bel istirahat yang selalu ditunggu-tunggu siswa pada jam dua belas. Mama dan saya tergopoh-gopoh mengangkat plastik-plastik besar. Perjalanan kembali dimulai. Kereta cukup ramai. Mau itu jam kantor atau tidak, keramaian di kereta seperti menjadi bagian penggerak ulat besi itu. Rumah. Kami pulang. Siap-siap berdesakkan.

punggung-punggung yang merindukan rumah. selamat pulang. semoga sampai tujuan.