card to post

Hari ini bisa dibilang random. Saya semangat tingkat pahlawan datang kuliah, diantar Mama sampai kampus. Satu jam menunggu dosen tidak muncul-muncul di daun pintu. Eh, petugas kampus mengabarkan hari itu tidak ada kuliah. Dosennya tidak datang.

Setelah membeli lumpia basah di Bara, saya pulang. Memang setiap Rabu, saya hanya kuliah satu kali. Karena hari ini tidak ada dosen, maka saya libur mendadak. Mau senang pun telat.

Pulang, rumah melompong. Mama ke SMP, kedua adik saya sekolah, Ayah dinas ke Kupang. Terlalu banyak PR menumpuk, akhirnya saya bermain-main dengan internet. Membuka blog seru. Lalu saya pun mendaftarkan diri. Iseng. Nekat. Hati berbunga-bunga.

Jujur, pengetahuan saya tentang kartu pos itu nol besar.

Zaman saya SD dulu, rumah memang selalu menjadi sarangnya kartu pos dari teman-teman sekantor Ayah. Itu pun kartu lebaran. Saya terkagum-kagum dengan kartu-kartu itu. Ada yang mengilap. Ada yang timbul. Warnanya pun lucu-lucu. Dan cuman sebatas itu. Sebatas tahu kartu dan sumringah, layaknya anak-anak yang bahagia menerima permen rasa baru.

Saya pernah berkirim surat via pos. Surat. Bukan kartu pos. Waktu itu disuruh guru SMP pelajaran Bahasa Indonesia mengirim surat ke presiden. Saya sih senang-senang saja. Zaman SMP saya belum peka politik. Presiden layaknya kue tart yang harus dihormati baik-baik supaya tidak ada semut yang mengambil jatah.  Bisa mengirim surat ke Presiden memberi kebanggaan tersendiri dibandingkan mengirim surat ke nenek. 

Saya dan Cholila ditugaskan mengantarkan semua surat teman-teman sekelas ke kantor pos di Kebun Raya. Sampai sekarang kantor itu tetap bernuansa orange! Bedanya, sekarang lebih menor warnanya. Mungkin untuk menarik perhatian. Biasanya yang kinclong lebih cepat memancig mata, toh? Mungkin juga strategi menor ini cara bertahan kantor pos untuk terus dimanfaatkan masyarakat korban kepraktisan.

Namun, pengetahuan saya tentang kantor pos ya hanya sekedar gedung berwarna orange saja. Saya tidak masuk ke kantor. Cholila jalan sendirian ke dalam kantor. Saya membeli gulali merah jambu di dekat gerbang Kebun Raya. Sekarang, gerbang itu ditutup. Sedih juga sih. Gerbang itu satu-satunya, yang saya tahu, pintu tercepat menghampiri danau di halaman istana.

Saya tidak tahu surat kami sampai atau tidak. Hingga saat ini, ketika presiden sudah berganti berkali-kali, kami belum mendapatkan balasan surat tersebut. Mungkin tersasar. Mungkin Cholila salah menulis alamat. Mungkin Bu Guru memberi alamat yang salah. Mungkin Pak Pos tidak berani mengirimkannya. Mungkin Pak Presiden sibuk. Mungkin ...

Terakhir saya menggunakan jasa pos ini pertengahan 2011 kemarin. Saya dan teman sekampus mengikuti lomba bisnis di Yogyakarta. Kami mengirim proposal bisnis ke sana. Kami berdua benar-benar muda dalam kegiatan pos-pos-an. Kami kira, hari itu kami mengirim, hari itu juga akan sampai ke Yogyakarta. Ternyata tidak. Proposal kami telat. Kami tidak lolos lomba.

Saya dan pos seperti bukan teman baik.

Lalu, kenapa pula saya ingin menjadi bagian dari card to post family??? Saya ingin pergi ke kantor pos dan mencoba mengirim kartu pos saya sendiri.

Ini desain muka kartu yang mau saya kirim.

Kalau sampai ke tujuan, saya beruntung.