pulang

"Kak, Bapak sakit."

Itu tiga kata yang mengangkat urat kenekatan saya meminta cuti kuliah. Tiga kata yang membuat telinga saya panas dimarahi Dosen Pembimbing. Tiga kata yang membuang jauh kemaluan saya untuk meminta gaji menjadi asisten praktikum, padahal setengah kontrak kerja saja belum saya tuntaskan. Tiga kata yang berkeliaran di pikiran saya sejak dari Stasiun Bogor. Tiga kata yang hampir membuat saya jatuh tertabrak plang tanda parkir. Tiga kata yang mampu membanjiri kasur saya karena air mata Casty.

"Gue mau temenin elo pulang, Der."
"Sudah. Biar saya sendiri saja yang gila."

Rumah. Aku akan benar-benar pulang. Ke tempat bersembunyi paling aman dan menyenangkan menurut teman sepermainan Kiara - adik saya - sewaktu bermain Bintang Tujuh. Ke tempat berteduh paling hangat bagi para kucing Tengger. Ke tempat dimana pekarangan hanya ditumbuhi Euphorbia dan Anggrek Bulan favorit mendiang Ibu. Ke tempat Joni, berang-berang peliharaan Dika - adik saya yang lain - berlarian sore-sore.  Ke tempat dimana terdengar nyaring, "A ba ta tsa," anak-anak kecil yang belajar mengaji dengan Bapak. Ke tempat dimana saya tidak perlu menjadi siapa pun.

"Elo nggak mungkin melakukan perjalanan sendirian, dengan keadaan elo seperti ini."

Sehebat apapun Casty melakoni perannya sebagai sahabat, seperti ampas sudah tawarannya. Saya tolak mentah-mentah.

Klojen berawan. Matarmaja yang mengantarkan saya dari Pasar Senen kemarin siang sudah terlelap di pelataran. Dada saya sesak sesaat, padahal saya tidak punya asma. Saya tahan kuat-kuat air mata yang nongol di sudut kelopak. Saya berbaur dengan kerumunan menuju mobil yang membawa saya ke Ranu Pane.

"Pak, tunggu."

No comments:

Post a Comment