Tiba-tiba saja, saya ingin menulis cerita tentang kereta. Tidak ada ide, akhirnya saya mengetuk pintu Google, menyapanya sebentar, lalu meminta dicarikan kereta. Dia memberi saya satu cerpen dari Kumpulan Cerpen Kompas, yang berjudul Kereta Senja. kalian bisa membacanya disini.
Kalau malas membuka link-nya, ini saya kopikan.
Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota tampak gamang
disepuh cahaya. Orang-orang panik, berlarian, seperti baru saja terjadi
ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah
ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung- gedung
menghitam karena hangus, seluruh kacanya rontok sehingga jendela-jendela
tampak seperti mulut-mulut yang menganga.
Tepat ketika kereta bergerak di tepi kepanikan itu, aku
terbangun. Ini mimpi paling buruk yang pernah kualami di saat- saat
pergantian hari.
Saat itu juga kuputuskan pergi ke stasiun. Senja yang baru saja
tumbuh terus bergerak melewati gedung-gedung yang menjulang. Aku mulai
mencemaskan Rhea dan anak-anak. Beberapa waktu lalu mereka kulepas di
stasiun. Sampai kereta menghilang di sebuah tikungan yang mengantarkan
mereka menuju sebuah kota aku belum juga beranjak.
Senja terasa aneh. Angin seperti menampar-nampar pucuk cemara yang
tumbuh di taman sebuah tugu dekat stasiun. Dalam waktu yang tak lama,
daun-daun dan kertas-kertas bekas beterbangan sebelum akhirnya terhempas
membentur- bentur pilar stasiun. Beberapa pedagang kaki lima yang
tadinya terkantuk-kantuk menjerit karena dagangannya berhamburan. Ada
yang tak biasa terjadi malam ini. Aku putuskan menunggu beberapa jam.
Tetapi sampai jam kota berdentang sembilan kali tidak terjadi apa-apa,
kecuali orang-orang yang bergegas pergi atau kembali dari suatu tempat
yang jauh.
Esok paginya lewat SMS Rhea berkabar, kakek dan nenek sudah menunggu
di stasiun. Lama tak kubalas SMS itu. Tak biasa ayah dan ibu ikut-ikutan
menjemput cucu-cucunya sepagi itu. Kukatakan kepada Rhea, mestinya ayah
dan ibu jangan diperkenankan ikut menjemput. Tapi menurut Phuja, adik
iparku, ayah dan ibu memaksa pergi ke stasiun. Katanya mereka tidak
sekadar ingin menjemput, tetapi kebetulan hari itu ulang tahun
perkawinan mereka yang ke-40.
“Mengapa harus ke stasiun?” kataku kepada Rhea lewat telepon kemudian.
“Lho ayah dan ibu itu ingin mengenangkan pertemuan mereka terjadi
justru di stasiun ini, pagi lagi. Waktu itu ayah masih kuliah di
Jakarta, pas pulang kampung eh ibu yang masih sepupu itu ikut- ikutan
menjemput. Jadi, menjemput buat mereka itu peristiwa istimewa lho…
Sayang kamu tak turut serta ya. Pasti perayaan ini menjadi lebih
meriah….”
“Kan sudah kubilang tak bisa meninggalkan pekerjaan.”
Aku agak tenang setelah mendengar penuturan Rhea. Setidaknya sampai
aku diganggu mimpi di senja hari itu, tak pernah kucemaskan akan terjadi
sesuatu pada mereka. Aku yakin pastilah setiap saat Rhea bisa berkabar,
terutama tentang keadaan anak-anak kami. Apalagi ada ayah dan ibu, yang
sudah pasti sangat gembira kedatangan cucu-cucu mereka dari kota yang
jauh.
Aku tak pernah berpikiran ini perilaku aneh. Sejak diganggu mimpi di
senja yang gamang, aku setiap hari pergi ke stasiun. Tak ada alasan yang
bisa kujelaskan kepadamu karena aku sendiri pun tak bisa merumuskan
dengan terang: mengapa aku tiba-tiba harus berada di stasiun setiap
senja tiba.
Sepulang kerja aku turut larut dalam kerumunan orang-orang yang
bergegas- gegas seakan ada sesuatu yang penting sedang menunggu. Ketika
tubuh-tubuh mereka ditelan gerbong yang sesak, aku hanya duduk di sebuah
kursi seolah sedang menunggu sesuatu yang istimewa. Seorang perempuan
tua tampak tergencet di antara para lelaki yang berdiri sembari merokok.
Orang-orang lain mengipas- ngipas koran untuk mengusir asap rokok yang
mengepul.
Seorang perempuan bercelana jeans ketat dan t-shirt putih tampak
sibuk dengan telepon genggamnya. Ah, ini pemandangan yang biasa di kota
seperti Jakarta. Orang-orang terbiasa memencet-mencet tombol handphone
di sembarang tempat sehingga mereka seperti asing berada di antara orang
lain. Aku sering membahasakan ini di lingkungan kantorku dengan
mengatakan, orang-orang yang berada di tempat tetapi tidak berada di
tempat. Kedengarannya rada filosofis, bukan? Tetapi itulah kenyataan
manusia modern sekarang. Mereka boleh hadir di antara kita, tetapi
sedang berbicara dengan seseorang lain yang berada di suatu tempat.
Lalu, apa makna kehadiran kalau begitu?
Aku sedang mempertanyakan diriku. Sebagaimana telah kau tahu, aku
sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba kehadiranku di stasiun ini
akhirnya menjadi keharusan. Dan kemudian bergegas pulang setelah hampir
seluruh kereta berangkat.
Padahal, Rhea lewat SMS sudah bilang ia kira-kira akan pulang
menjelang liburan anak-anak usai. Katanya, mungkin sekitar akhir bulan
ini. Sekarang baru tanggal 15, artinya ia akan berada di kota itu
sekitar dua minggu lagi. Karena itu tidak ada alasan kalau aku
mencemaskan keberadaannya. Kalau misalnya sebuah kereta mengalami
kecelakaan, sebagaimana cerita dalam mimpiku itu, pastilah Rhea dan
anak-anak tidak ada di dalamnya.
Pada hari berikut ketika aku duduk di kursi yang sama lalu mengamati
kereta- kereta yang datang dan pergi, senja menjadi semakin aneh.
Pelan-pelan perangainya seperti berubah menjadi semacam gua waktu yang
dengan rakus menelan hari. Aku tak pernah tahu, apakah kereta yang pergi
akan tiba di suatu tempat dan orang-orang bergegas seperti mesin.
Apakah juga kereta-kereta akan datang setelah mengunjungi kota-kota yang
jauh dari jangkauan pikiranku dan orang- orang seperti dimuntahkan dari
mulut gerbong, bergegas dan bergegas.
Kesibukan mereka seperti sebuah lingkaran yang samar-samar. Belum
tentu mereka yang pergi dan datang adalah orang-orang yang sama.
Barangkali sebagian di antaranya telah menyinggahi kota-kota yang asing
dan memutuskan untuk menetap. Kepergian bisa berarti pula tak pernah
kembali. Tetapi, sebaliknya kedatangan bisa dipastikan akan berakhir
lagi dengan kepergian. Pergi ke suatu tempat yang entah, sebagaimana aku
tak pernah tahu ke mana tujuan orang-orang yang bergegas itu.
Pada sebuah senja yang buram, seseorang yang sudah lama tidak pernah
kujumpai tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Setelah berpelukan,
sebagai basa-basi ia mengatakan akan pergi menengok keluarganya yang
tinggal di kota lain. Ketika ia bertanya kepadaku apakah sedang menunggu
seseorang, cepat-cepat kujawab, “Aku sedang menunggu istriku.”
“Ooh sedang liburan rupanya?”
“Ya, kebetulan menengok orangtuanya di kampung.”
“Aneh ya kita tinggal di kota yang sama, tapi hampir tidak pernah
bertemu,” kata dia sembari mengerutkan alisnya. Saat-saat ia mengucapkan
itu, tiba-tiba kulihat ada lubang hitam di keningnya. Dan dari lubang
itu keluar suara dengung yang menusuk genderang telingaku.
“Kenapa tiba-tiba kau menutup telinga?” tanyanya.
“Ah, aku paling tidak tahan mendengar derit roda kereta…,” kataku
mencari alasan. Untung saja ia cepat-cepat menyadari kalau kereta yang
akan membawanya ke sebuah kota segera berangkat.
“Eehh, sampai ketemu lagi. Ini kartu namaku…,” katanya. Sebelum
meloncat ke dalam gerbong, ia sempat melemparkan sebuah kartu nama
berwarna kelabu. Aku tak begitu memerhatikannya, langsung saja
kumasukkan ke dalam saku baju.
Sore berikut aku lihat begitu banyak polisi di stasiun. Mereka bahkan
tampak sangat sibuk memeriksa orang-orang yang naik ke atas gerbong.
Secara bisik- bisik kudengar kemarin malam terjadi perampokan bersenjata
api di atas gerbong kereta. Cepat-cepat kupanggil penjual koran.
Setelah yakin akan koran yang kupilih, sebuah koran kota yang dipenuhi
berita-berita kriminal, aku duduk di kursi di mana biasa aku menunggu.
Ini sebuah kebetulan atau bukan, kawanku yang sampai kulihat
gambarnya di koran itu belum kuingat namanya roboh bersimbah darah di
dalam sebuah gerbong. Ialah kawan yang kemarin sore sepintas bercakap
denganku lalu melemparkan kartu namanya.
Cepat-cepat kuperiksa saku baju. Dengan tangan gemetar kubaca Sam
Kapoor, kawanku yang malang itu, memiliki toko bahan-bahan tekstil di
satu kawasan di kota ini. Barangkali ketika perampokan itu terjadi ia
berangkat menagih piutang ke sebuah kota lain kepada para pelanggannya.
Ah, aku tiba-tiba merasa lelah. Kulorotkan tubuh untuk kemudian
mengambil posisi terlentang di sebuah bangku panjang. Stasiun mulai
tampak sepi.
Kereta itu lagi-lagi bergerak di tepi senja. Lanskap kota tampak
rembang disiram cahaya. Orang-orang panik, berlari tak tentu arah,
seperti baru saja terjadi sebuah ledakan dahsyat di sini. Tiba-tiba
membayang wajah Rhea dan anak-anak tersekap dalam sebuah gerbong yang
gosong….
“Aahhh, Tuhan, aku tidak sedang ingin pembuktian…!!” Seorang polisi tiba-tiba memegang pundakku.
“Saudara sedang apa di sini?” tanyanya.
Dengan gugup karena mimpi sialan tadi kujawab, “Saya sedang menunggu
istri dan anak-anak, Pak? Ah maaf apakah tadi saya bermimpi?”
“Saya tidak tahu. Mimpi bukan urusan saya.”
“Apakah masih ada kereta yang akan tiba?”
“Kereta terakhir sudah tiba setengah jam yang lalu.”
“Apakah istri dan anak-anak saya sudah tiba?”
“Itu urusan Saudara. Mungkin mereka sudah pulang.”
“Kalau begitu alangkah bodohnya saya.”
“Sudah beberapa hari ini Saudara tidur di sini. Dan, kami mencurigai Saudara salah satu anggota komplotan perampok itu.”
“Bagaimana mungkin orang yang tertidur dituduh komplotan rampok.”
“Ah, Saudara jelaskan saja nanti di kantor. Ikut kami….”
Dua orang polisi lainnya tiba-tiba nongol dari balik pilar-pilar
stasiun. Rupanya mereka sejak beberapa hari ini menguntitku. Berbagai
kejadian perampokan di atas gerbong memang telah diberitakan koran kota.
Di kantor polisi aku disodori gambar-gambar para korban perampokan yang
selalu tergeletak dengan kening berlubang karena tembusan peluru.
“Apakah Saudara yang menembak perempuan ini?” tanya seorang polisi
yang lain. Kuperhatikan seorang perempuan dengan celana jeans ketat dan
t-shirt putih tergeletak di lantai gerbong.
“Apakah juga Saudara menembak yang ini?” Polisi itu melemparkan foto
wajah seorang lelaki yang kuingat selalu mengepulkan asap rokoknya di
dalam gerbong.
“Ayo jawab, sebelum kami bertindak kasar!” bentak polisi.
“Apakah tampang saya terlihat seperti perampok?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Kami yang bertanya. Saudara hanya dibolehkan menjawab, tahu!”
“Pasti bukan saya Pak. Tetapi, kalau saya menjelaskan sesuatu pasti bapak-bapak tidak akan percaya,” kataku.
“Kami membutuhkan pengakuan, bukan penjelasan!”
“Kalau itu, bukan saya pelakunya Pak. Saya hanya datang ke stasiun untuk menjemput istri dan anak-anak. Itu saja.”
“Apakah Saudara menembak orang- orang ini?” desak seorang polisi yang lain.
“Bagaimana saya menembak, pistol pun tak punya.”
“Saudara minta orang lain.”
“Atas kepentingan apa?”
“Ini kasus perampokan, Saudara! Jangan berbelit-belit.” Seseorang
yang bertampang kalem masuk ke ruangan. Setelah beberapa saat tak
bicara, lalu ia meminta para polisi itu melepaskan aku. Justru di saat
telah terbebas dari tangan para polisi itu, aku merasa berkewajiban
menceritakan sesuatu.
“Sebelum dirampok kebetulan orang-orang itu saya lihat di dalam
gerbong, dan di kening mereka terlihat lubang hitam tembus sampai ke
kepala bagian belakang,” kataku meyakinkan. Aku belum sempat
menceritakan mimpiku tentang kereta di batas senja dengan orang-orang
yang panik, polisi itu memotong, “Ah itu tak menjelaskan apa pun. Pasti
banyak yang melihat mereka sebelum dirampok. Sudah silakan Saudara
pulang.”
Aku tidak datang ke stasiun selama beberapa hari. Sampai Rhea memberi
tahu ia dan anak-anak akan pulang dalam beberapa hari ini, aku tidak
bercerita tentang interogasi polisi. Kalau kuceritakan kebiasaanku
mendatangi stasiun saban senja, pastilah tak masuk di akal Rhea. Ia
perempuan yang sangat rasional. Tak bakalan menerima alasan-alasan
seperti firasat atau semacam kecemasan, apalagi mimpi. Baginya semua
harus masuk akal. Kalau aku pergi ke stasiun, haruslah untuk mengantar
atau menjemput seseorang, bukan sekadar menyaksikan orang-orang yang
datang dan pergi.
Padahal, sekarang justru mengantar dan menjemput itulah yang sedang
menjadi persoalan bagiku. Aku merasa sedang berhadapan dengan ambang
batas yang samar-samar. Seperti senja yang menganga menelan hari. Kita
tak tahu apakah esok akan ada kehidupan lagi. Jangan-jangan senja telah
memerangkap kita ke dalam labirin-labirin hari. Maka itu orang-orang
terus bergegas, hanya karena mereka merasa dikejar waktu. Padahal,
sebagian di antaranya akan tersesat dalam lingkaran yang mengembalikan
mereka ke waktu, ruang, dan tempat yang sama. Sebagian lagi mungkin
menghilang di ujung rel ditelan kabut. Aku tidak ingin menjadi bagian
dari kehilangan itu.
Aku merasa mengantar dan menjemput menjadi sesuatu yang selalu
berujung dengan keperihan. Apakah orang-orang yang kita antar dan jemput
akan tiba di stasiun? Derit kereta menjadi semacam sembilu yang
menyayat tubuh hari. Dan kita tak tahu untuk apa ada di sini dan untuk
apa kita pergi.
Stasiun di mana sekarang aku menunggu terasa lengang dan dingin. Ini
tak biasa. Ketibaan seperti gambar-gambar kabur dari masa lalu,
menderit-derit ke tepi malam. Rhea berkabar ia bersama anak-anak akan
tiba dengan kereta senja hari ini. Seorang petugas mengatakan kalau
tidak ada hambatan kereta akan tiba sekitar pukul 18.15 petang hari.
Ketika kutanyakan apa maksudnya dengan tak ada hambatan itu, sembari
bergegas ia menjawab, “Sekarang banyak kendaraan nyelonong memotong
rel.”
Aku ingat pekan lalu kecelakaan menimpa sebuah mobil pick-up yang
mengangkut rombongan keluarga pengantin. Ketika mobil melintas rel yang
tak berpalang pintu, tiba-tiba sebuah kereta menyeretnya sampai beberapa
meter. Seluruh penumpangnya tewas. Barangkali bagi petugas tadi berita
horor itu menjadi berita biasa. Sebuah peristiwa yang tak mampu lagi
mengugah rasa ngeri-nya.
Karena waktu tiba masih cukup lama, kuputuskan menyelonjorkan tubuhku
di bangku panjang. Persis seperti ketika aku digiring ke kantor polisi
beberapa hari lalu.
Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota remang-remang oleh
jatuhan cahaya. Orang-orang panik, berlarian di antara kaca-kaca gedung
yang rontok. Dan lagi-lagi jendela-jendela yang hangus seperti
mulut-mulut raksasa yang mengaum… Baru saja sebuah ledakan dahsyat
meluluhlantakkan kota.
Suara loudspeaker yang mengabarkan penundaan kedatangan kereta
mengagetkan aku. Katanya, karena ada kejadian yang tidak terduga di tepi
sebuah kota kecil, kedatangan seluruh kereta dari arah selatan terpaksa
tertunda.
Dengan tergesa-gesa aku mendatangi counter informasi. Rupanya sejak
tadi orang-orang sudah berkerumun. Samar-samar di dekat pilar stasiun
beberapa orang bercakap tentang sebuah kecelakaan yang menimpa kereta
senja dari arah selatan. Sementara petugas informasi hanya memberi tahu
seluruh kedatangan kereta dari jalur selatan ditunda.
“Jalur sedang dibersihkan, Pak. Harap sabar, tunggu saja kabar
berikutnya,” kata petugas perempuan yang tampak ogah-ogahan bekerja.
“Apa yang sedang terjadi? Tolong beri tahu saya,” pintaku.
“Bukan kewenangan saya untuk memberi tahu,” kata perempuan itu ketus.
“Ini menyangkut kepastian orang- orang yang saya cintai. Anda masih saja bisa bermain-main!” bentakku.
Bentakan itu rupanya mengalihkan semua pandangan orang. Mereka semua
mendekat lalu berteriak-teriak minta petugas segera memberi tahu apa
sesungguhnya yang tengah terjadi. Seorang lelaki yang berkacamata hitam
bahkan menggedor-gedor loket. Beberapa kaca terdengar mulai pecah. Aku
diam-diam menyelinap ke belakang karena tidak ingin dicap sebagai
pemimpin keributan ini.
Aku lihat petugas informasi mulai panik. Mereka tak tahu mesti
menjelaskan apa kepada orang-orang yang mulai kalap ini. Tiba-tiba
seseorang yang mengaku kepala polisi berbicara lewat pengeras suara.
“Saudara-saudara harap tenang. Tenang dulu, kami akan segera
informasikan tentang kecelakaan yang menimpa kereta senja dari arah
selatan beberapa waktu lalu….” Kakiku tiba-tiba terasa lemas. “Baru saja
kami dapat kabar satu gerbong kereta Mahabaratha Ekspres yang berangkat
tadi pagi mengalami kebakaran. Sementara belum diketahui jumlah
korbannya…. Harap Saudara-saudara tenang menunggu pemberitahuan
selanjutnya. Sekian dan terima kasih,” kata kepala polisi itu.
Secepat kilat kupencet tombol-tombol handphone untuk menghubungi
Rhea. Tetapi, teleponnya tidak bisa dihubungi. Berkali-kali hanya
terdengar suara Rhea dalam mailbox yang minta ditinggali pesan.
Sebentar lagi senja berlari meninggalkan jejak-jejak gelap. Bayangan
mimpi yang akhir-akhir ini selalu datang ketika aku tidak dalam keadaan
siap hilang-muncul di kaca-kaca buram stasiun. Setengah putus asa
kulemparkan tubuhku di kursi tunggu. Inilah mungkin saatnya melihat
mimpi perlahan merembes menjadi kenyataan. Kenyataan yang tentu saja
jauh dari harapanku.
Aku cemas memikirkan nasib Rhea dan anak-anak. Merekalah yang selama
ini membuat hidupku jadi penuh warna. Aku tak bisa memikirkan apa yang
terjadi dengan hidupku esok hari jika benar-benar kehilangan mereka. Aku
khawatir pengalamanku melihat orang-orang yang berlubang keningnya itu
terulang pada mereka. Tuhan, kataku dalam hati, aku tidak sedang ingin
pembuktian atas kebenaran yang Kau sodorkan kepadaku.
Di tengah rasa cemas dan temaran lampu-lampu stasiun, tiba-tiba
sebuah SMS masuk. Katanya, “Ayah, kami tak jadi pulang hari ini. Kakek
tiba-tiba sakit. Ayah baik-baik, kan? Dari Rheda.” Dengan sangat
terburu-buru aku menelepon mereka. Anak sulungku bilang, kakeknya kini
sedang dirawat di rumah sakit karena stroke.
Jakarta, September 2004
Lalu si Google menawarkan saya satu lagu manis tentang Kereta Senja. suara lembut Masnie Towijoyo mengisahkan perpisahannya dengan sang kekasih di stasiun, lewat lagunya yang berjudul Kereta Senja. silahkan nikmati disini.
No comments:
Post a Comment